Skip to main content

CRITICAL ELEVEN (2017) REVIEW : Mempercayai Sebuah Cinta Dengan Segala Turbulensinya


Dari sekian banyak film-film dengan genre drama romantis di perfilman Indonesia, hanya ada beberapa film yang diproduksi dengan baik. Tak hanya dari segi teknis, tetapi juga dari sisi pengarahan film yang tak terlalu digarap serius. Menciptakan nuansa penuh akan cinta di sebuah film tak akan semudah yang dibayangkan orang. Apabila hal tersebut tak bisa diarahkan dengan baik, penonton tak akan bisa merasakan koneksi atas atmosfir penuh kasih sayang di dalam film drama bertemakan cinta.

Maka, inilah yang berusaha dilakukan oleh Starvision dan Legacy Pictures untuk membuat sebuah drama romantis dengan ideal. Mereka memutuskan untuk bersama-sama mengadaptasi sebuah buku dari penulis ternama Ika Natassa. Critical Eleven, salah satu buku laris miliknya akhirnya mendapatkan kesempatan untuk ‘lahir’ pertama kali sebagai sebuah film layar lebar. Critical Elevenmemiliki kru dan jajaran aktris yang tak sembarangan. Mulai dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti sebagai pemeran utama, Jenny Jusuf sebagai penulis skenario, serta Monty Tiwa yang kali ini berkolaborasi untuk mengarahkan sebuah film dengan Robert Ronny.

Misi mulia dari Ika Natassa dan segala orang yang terlibat di dalam film Critical Eleven adalah tentang memberikan harapan dalam cinta. Nyatanya, dengan performa milik Reza Rahadian dan Adinia Wirasti yang menghidupkan setiap karakter fiksinya ini berhasil meyakinkan penonton atas misi mulia milik Ika Natassa. Inilah kisah cinta milik Ale dan Anya yang penuh akan asam manis di setiap perjalanannya, tetapi bisa membuat setiap orang akan percaya dengan kekuatan cinta. 


Membicarakan tentang cinta akan terdengar sangat melankolis dan picisan. Tetapi, memiliki kehidupan tanpa cinta di sekitar kita tak serta merta membuat hidup kita lebih bahagia. Hal itu lah yang berusaha disampaikan di dalam film Critical Eleven ini. Tema Cinta yang dibahas di dalam Critical Eleven ini memang tak sekedar antar pasangan, tetapi juga lebih di setiap aspek. Mulai dari keluarga, sahabat, dan juga setiap menit kehidupan yang tuhan berikan kepada kita.

Semua misi tentang cinta ini disajikan ke dalam sebuah film dengan durasi yang mencapai 135 menit. Critical Eleven adalah analogi tentang keadaan dalam pesawat yang paling kritis yaitu 3 menit sesaat setelah terbang dan 8 menit sesaat sebelum mendarat yang mewakili kehidupan setiap orang. Ini pula yang dirasakan sesaat ketika film berjalan di durasinya yang panjang. Film Critical Eleven sebagai sebuah pesawat mengalami masa kritis itu tak selamanya dengan mulus. Sesekali ada Turbulensi yang terjadi saat film baru saja menerbangkan sayapnya dan sesaat sebelum film akhirnya tiba di tujuan.  


Misi tentang memberikan harapan kepada cinta kali ini ditugaskan kepada Anya (Adinia Wirasti), seorang perempuan mandiri yang bekerja dengan giat. Anya begitu mencintai bandara hingga suatu ketika dia juga bertemu dengan seorang pria bernama Ale (Reza Rahadian). Pertemuan yang tak disengaja itu ternyata mendekatkan mereka. Hingga pada akhirnya, Ale dan Anya memutuskan untuk menikah dan Ale yang bekerja di Oil Rig di daerah meksiko memutuskan agar mereka tinggal di New York.

Kehidupan di New Yorkmemberikan mereka kebahagiaan, apalagi Anya telah mengandung Ale Junior yang telah diidam-idamkan. Kehidupan Anya paska hamil memang tak semudah yang dibayangkan. Ale menjadi sangat overprotektif kepada Anya karena takut kehilangan buah hatinya. Dengan adanya perubahan sifat ini, muncullah keegoisan masing-masing yang sesekali menimbulkan perdebatan di tengah keharmonisan hubungan mereka. Juga, beberapa peristiwa dalam keluarga kecil mereka yang semakin memunculkan sisi egois masing-masing pihak.


Critical Eleven memang bukan sekedar kisah tentang cinta yang dibuat hanya untuk merasakan indahnya jatuh cinta. Critical Eleven adalah kisah tentang cinta yang menunjukkan penontonnya tentang jatuhnya hidup bergantung kepada cinta. Translasi yang sangat baik dilakukan oleh Jenny Jusuf sebagai penulis skenario yang berhasil mengadaptasi sumber aslinya dengan berbagai cara hingga setiap karakter memiliki kontinuitas yang menarik. Ada detil-detil kecil sebagai sebuah tanda yang dihasilkan oleh Jenny Jusuf di dalam filmnya yang memperkuat karakternya. Tanda itu seperti mainan-mainan yang dimiliki oleh karakter Ale dan Anya.

Bukan hanya sekedar detil kecilnya, tetapi juga memindahkan emosi ke dalam penulisan naskahnya. Selain itu pula, ada kolaborasi baik antara naskah dengan pengarahan yang dilakukan oleh Monty Tiwa dan Robert Ronny dalam Critical Eleven. Penonton bisa merasakan setiap konfliknya yang terjadi di dalam Critical Eleven. Secara tak langsung, penonton menemukan referensi lain yang melekat di karakter dan konfliknya sehingga timbul simpati dan merasakan adanya kedekatan.

Hanya saja, Critical Elevenmemiliki sedikit isu dalam pengarahan yang membuat 135 menit yang ada di dalam filmnya tak memiliki performa yang stabil. Paruh pertama film ini memiliki sedikit turbulensi terhadap penyampaian konflik dan karakternya. Ada penyampaian emosi yang menggebu-gebu sehingga beberapa pesan yang tak tersampaikan dengan sepenuhnya baik. Pemilihan dialog yang sering kali menggunakan bahasa asing membuat adanya jarak antara pesan yang ingin disampaikan kepada penontonnya. Rasa manis di awal film pun beberapa kali terkadang terasa redup. 


Begitu pula dengan turbulensi yang datang lagi di ‘pesawat’ milik Critical Eleven saat ingin mendarat. Critical Eleven memang sudah memiliki landasan mendarat yang mumpuni, tetapi kemulusan terhadap cara memberikan konklusi di film ini tak bisa memberikan rasa manis yang kuat setelah menonton. Di tengah karakter Ale dan Anya yang sudah dikembangkan dengan sangat baik di setiap menitnya, ada cara mendarat yang memberikan sedikit membuat penontonnya tak nyaman. Bagaimana paruh ketiga film ini intensitas cerita sudah tak terjaga dan membuat simpati penontonnya sedikit berkurang.

Kemagisan asam manis cinta yang semakin bertambah durasi semakin terasa ini hampir saja hilang dengan pengarahan yang kurang mulus. Sehingga, ada sambungan adegan yang sedikit saja dihilangkan di dalam naskah yang mungkin dapat menimbulkan keefektifan cerita yang lebih memberikan efek yang kuat kepada penontonnya. Tetapi, beruntung sekali Critical Eleven memiliki Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Mereka memberikan performa terbaiknya di dalam film ini sehingga penonton bisa merasakan setiap manis dan getir hubungan mereka. Mereka bisa menerjemahkan karakter Ale dan Anya yang tak hanya hidup, tetapi juga berkembang dan berubah. 


Sebagai sebuah film drama dengan tema cinta, Critical Eleven memang masih bisa menaikkan standar yang ada. Ini jelas sebuah film Indonesia yang dibuat dengan sepenuh hati dan teliti, apalagi dalam segi teknis film. Gambar, musik, dan nilai-nilai produksi di dalam film Critical Eleven memperkuat alasan bahwa film ini memang tak main-main. Meski memiliki sedikit turbulensi dalam penceritaannya, tetapi Critical Elevenmasih bisa menimbulkan rasa asam dan manis cinta lewat performa luar biasa dari Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Pun, didukung dengan kedetilan dalam bertutur lewat naskah milik Jenny Jusuf. Critical Eleven cukup berhasil mencapai tujuannya untuk membuat penonton percaya dengan cinta dan menggantungkan harapan kepadanya. 
 

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following