Skip to main content

THE BFG (2016) REVIEW : Magic In Its Simplicity [With IMAX 3D Review]


Steven Spielberg sudah bukan lagi orang lama yang berkecimpung di industri perfilman Hollywood. Bahkan, karya-karyanya selalu menjadi sebuah karya klasik yang bisa digunakan sebagai kapsul waktu dan ditonton sepanjang abad. Setelah tahun lalu menggarap sebuah film serius tentang negosiasi amerika dan rusia, kali ini Steven kembali membuat sebuah film fantasi yang dapat ditonton bersama keluarga. Proyeknya kali ini, bekerjasama dengan Disney Studios.

Mengadaptasi karya penulis cerita anak-anak bernama Roald Dahl yaitu The BFG. Jelas, ini bukan ranah baru bagi Steven Spielberg dalam menggarap tema serupa. Proyek ini tentu dinanti-nantikan oleh penonton untuk mendapatkan sebuah film keluarga yang hangat dan menyenangkan untuk ditonton. Dengan tangan Steven Spielberg, proyek ini akan terlihat sangat menjanjikan apalagi dengan nama Disney studios sebagai supervisi dari film ini.

The BFG arahan Steven Spielberg ini layaknya sebuah mimpi di siang bolong bagi pecinta film-film keluarga klasik. Memberikan sebuah efek nostalgia dengan atmosfir film-film fantasi zaman dulu yang hanya memerlukan komposisi film yang penuh kemagisan dan emosi di dalamnya. Dan juga, dipenuhi dengan konflik-konflik yang sederhana. The BFG mencakup semua poin tersebut yang membuatnya menjadi sebuah sajian klasik yang sudah lama idam-idamkan oleh penonton genre ini. Yang meskipun, beberapa kendala di The BFGjuga masih menghiasai filmnya. 


Beberapa penonton mungkin akan menganggap plot cerita dari The BFG ini terlalu sederhana dan tak memiliki alasan. Ya, kelemahan dari The BFG adalah minimnya konflik-konflik besar yang seharusnya dapat semakin mengikat dan memperkaya filmnya. Dengan durasi yang cukup panjang yaitu 115 menit, film ini memang masih kurang memberikan kedalaman di dalam konfliknya dengan pengenalan yang begitu terasa tergesa-gesa.

Ketika penonton berusaha untuk memahami dunia yang dibangun oleh Steven Spielberg di dalam The BFG, ternyata penonton sudah langsung dibawa ke dalam konflik di 15 menit awalnya. Sehingga, ada keterbatasan ruang dalam menyampaikan pesan tentang karakternya. Yang meski begitu, Steven Spielberg akan memperkaya dan menggali lebih dalam lagi karakter-karakter utamanya dengan berjalannya durasi yang juga ikut bertambah nantinya. 


Begitulah problematika Steven Spielberg mengenalkan Sophie (Ruby Barnhill), karakter utama dalam film The BFG yang tinggal di sebuah panti asuhan. Dia suka sekali berjalan-jalan di area panti asuhan di tengah malam. Hingga pada akhirnya, secara tak sengaja dia melihat sosok raksasa besar di sudut jalan yang membuatnya penasaran. Sang raksasa mengetahui bahwa Sophie sedang melihatnya sehingga raksasa tersebut menangkap Sophie ke dunianya.

Sophie dibawa oleh sang raksasa untuk menyembunyikan dunia miliknya kepada umat manusia. Hanya saja, hal tersebut menambah masalahnya sendiri di dunia miliknya. Ada raksasa lain yang berusaha menangkap Sophie untuk dijadikan santapan. Sophie yang sudah lama bersama dengan sang raksasa akhirnya memanggilnya BFG (Mark Rylance) yang diambil dari singkatan Big Friendly Giant dan mengatur rencana agar raksasa lain yang ingin memakan Sophie mendapatkan balasan. 


Penonton mungkin tak berusaha diberitahu siapa itu Sophie dan BFG secara personal. Tetapi, pintarnya Steven Spielberg berusaha untuk menjadikan karakternya menjadi satu kesatuan yang utuh. Spielberg memperlihatkan bagaimana proses interaksi mereka satu sama lain sehingga tumbuh suatu ikatan di antara kedua karakternya yang kuat. Penonton yang pada awalnya kesusahan untuk berkoneksi dengan karakternya, menjadi sangat mudah untuk ikut dalam petualangan karakter Sophie dan BFG melawan para raksasa yang lain.

Kepiawaian Steven Spielberg tak hanya berhenti di situ, bagaimana Spielberg mempunyai visi yang luar biasa berpengaruh di dalam film arahannya. Problematika yang sangat sederhana dan dengan durasi yang panjang, Steven Spielberg memberikan petualangan yang penuh dengan kemagisan. Sehingga, penonton sama sekali tak merasakan rasa bosan saat mengikuti petualangan Sophie dan BFG. Memberikan cita rasa klasik yang mungkin sudah lama sekali absen di film-film dengan genre sejenis. Dan itulah yang menjadi keunggulan dari The BFG sebagai sebuah film keluarga.

Banyak adegan-adegan yang dibuat begitu spektakuler dengan visualisasi yang cantik. Dan tak lupa sentuhan-sentuhan emosi yang dapat membuat penontonnya terenyuh, merasakan betapa hangatnya cerita yang ditampilkan oleh Steven Spielberg di dalam The BFG. Sehingga, plot yang terasa begitu sederhana itu dapat dikemas dan didaur ulang dengan kemasan yang lebih menarik. Meski sekali lagi, Spielberg mengalami kebingungan dalam mengakhiri plot utama film ini yang mungkin terkesan tak terlalu muncul ke permukaan. 


Penawaran penyelesaian konflik yang ada di dalam The BFG mungkin terasa sangat ringan dan memberikan penekanan bahwa film ini diperuntukkan bagi keluarga yang sedang ingin melakukan vakansi instan. Dan juga menjadi poin minus lagi untuk The BFG bagi penonton yang menginginkan penyelesaian yang lebih fantastis lagi. Tetapi, kekurangan itu juga lagi-lagi ditutup dengan epilog yang benar-benar menghangatkan hati penontonnya.

Akan terasa sangat disayangkan bagi penonton yang melewatkan The BFG arahan Steven Spielberg ini untuk disaksikan di layar lebar. Karena The BFG menawarkan sebuah vakansi instan bagi penontonnya ke dunia raksasa yang indah lewat visualisasi yang megah. Pun, dengan cerita-cerita keluarga sederhana yang mungkin akan bermain dengan fantasi penontonnya. Meski perjalanan The BFG dalam menceritakan beberapa karakternya juga masih terlihat buru-buru, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa The BFG masih menyisakan kesan hangat dan penuh petualangan menyenangkan saat film ini telah berakhir.

 

Film ini dirilis dalam format IMAX 3D. Berikut rekapan format IMAX 3D untuk film The BFG arahan Steven Spielberg.
DEPTH



The BFG memiliki kedalaman yang cukup bagus dengan visualisasi dunia raksasa yang setidaknya dapat menambah poin jika disaksikan dalam format IMAX 3D
POP OUT 
 
The BFG tak memiliki efek Pop Out yang mencolok mata penontonnya. Sehingga, mungkin format 3D atau IMAX 3D ini akan mengecewakan penontonnya yang menantikan format ini. 
Mungkin, The BFG akan terasa wajib untuk ditonton dalam format IMAX 3D, karena format ini memaksimalkan visualisasi dunia yang diarahkan oleh Steven Spielberg. Hanya saja, ketika menantikan efek Pop Out, tentu format ini akan mengecewakan penontonnya. Sehingga, menontonnya dalam format ini mungkin akan menjadi pilihan tergantung selera.

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following