Skip to main content

NERVE (2016) REVIEW : Kontemplasi Kehidupan Era Digital Yang Menyenangkan


Era digital terkadang membuat orang berpindah medium untuk saling berkomunikasi dengan satu sama lain. Bahkan, sebuah tujuan hidup yang utama pun terkikis akan suatu ilusi popularitas semu yang ditawarkan oleh Dunia Maya yang digunakan oleh banyak orang. Sosial Media tak bisa dipungkiri menawarkan suatu kelebihan luar biasa dalam membuat ruang publik baru bagi masyarakat. Pun, keberadaannya juga menjadi sebuah polemik yang luar biasa besar.
 
Dan itulah, premis dasar yang berusaha diangkat oleh ‘Nerve’ buku karya Jeanne Ryan yang siap diadaptasi ke dalam format layar lebar. Duo sutradara Henry Joost dan Ariel Schulman siap mengarahkan buku tersebut di bawah naungan Lionsgate. Dibintangi oleh Emma Roberts dan Dave Franco, film Nervemenjadi sebuah film young-adult baru yang mengangkat tema dengan relevansi yang besar bagi para remaja masa kini.

Problematika tentang dunia maya ataupun media sosial, mungkin akan relevan dengan rentang usia yang universal. Tetapi, Nerve memiliki poin sendiri dalam dasar ceritanya yang membuat film ini sebagai sebuah film Young-adult. Di sanalah poinnya, segmentasi film ini jelas ditujukan kepada remaja yang sedang mengalami transisi akan sifatnya menuju ke sebuah kedewasaan. Pun, remaja mayoritas adalah pengguna media sosial aktif. Film ini akan menjadi sebuah tamparan keras bagi remaja di luar sana yang sangat menggandrungi apa yang mereka konsumsi di media sosial. 


Bukan hanya itu, Nerve juga menjadi sebuah gambaran tentang media sosial yang ingin mengonstruksi identitas atau jati diri seseorang. Apa yang mereka perlihatkan dalam media sosial adalah pilihan kalimat atau kata yang menjadi sebuah bahasa dengan maksud sebagai penyampai pesan bagi orang lainnya. Di dalam film ini, Nerve berusaha untuk melemparkan realitas tersebut kepada penontonnya lewat karakter yang ada di dalam filmnya.

Begitupun karakter yang ada di dalam film Nerve yang berusaha menentukan dirinya sebagai ‘Player’ atau ‘Watcher’. Pilihan tersebut menjadi sebuah bahasa yang dapat sebagai sebuah representasi atas diri mereka dalam media sosial. Sehingga, pengguna media sosial dapat menentukan identitas mereka di dalam ruang publik berbasis koneksi internet tersebut. Ruang publik baru tersebut digunakan sebagai sebagai orang-orang yang tak punya kesempatan untuk mendapatkan ruang bicaranya di dunia nyata. Seperti yang dialami oleh salah satu karater di dalamnya bernama Venus. 

 
Venus (Emma Roberts) adalah sosok yang pendiam atas segala masalahnya, bahkan dia tidak berani bicara kepada Ibunya, bahwa dia diterima di perguruan tinggi seni yang dia idamkan. Sosoknya yang tertutup pun mempengaruhi kehidupan asmaranya. Venus diam-diam mengagumi sosok JP (Brian Marc). Sydney (Emily Meade), teman Venus berusaha untuk mengenalkannya dengan JP dan ternyata malah membuatnya sakit hati dengan Sydney maupun JP.

Venus kesal dan ingin melakukan sesuatu yang berbeda dan mengambil langkah berani di dalam hidupnya. Nerve, permainan yang berbasis media sosial  yang pernah dikenalkan oleh Sydney,  merebut perhatian Venus. Maka, masuklah Venus menjadi pemain di dalam permainan tersebut dan mendapatkan setiap tantangan dari permainan itu. Dan bertemulah dia dengan Ian (Dave Franco), yang juga pemain di dalam Nerve. Mereka berdua menjalani misi bersama tetapi mereka semakin lama semakin terjebak dengan permainan itu dan menjadi ‘tawanan’. 


Ada sebuah representasi karakter yang disematkan kepada sosok Venus. Bagaimana media sosial dapat membentuk sebuah bahasa dari seseorang yang bisa sangat berbeda dengan kepribadian orang tersebut di kehidupan nyata. Venus memilih untuk menggunakan bahasa 'player' untuk memperlihatkan identitasnya di dalam permainan 'Nerve'. Hal akan relevan dengan banyak orang yang berusaha membentuk identitas-identitas lain di media sosial mereka. Dan bisa saja, di setiap sosial media mereka berusaha untuk memiliki identitas mereka yang berbeda. Tergantung pilihan bahasa mana yang mereka gunakan.

Sebagai sebuah film thriller dan suspense, Nerve menawarkan sebuah problematika yang baru untuk disaksikan oleh penontonnya. Henry Joost dan Ariel Schulman memiliki rasa remaja masa kini yang dikemas di dalam film ini sehingga pas untuk segmentasinya. Berkat sentuhan-sentuhannya itu, film ini terlihat begitu memiliki gaya yang menarik untuk diikuti. Menonjolkan benar bahwa setiap karakternya telah berada di dalam era digital yang tak dapat dipisahkan dari manusia.

Mulai dari adegan pembuka yang memperlihatkan layar PC milik Venus beserta dunia-dunia sosial medianya untuk saling berkomunikasi, bahkan dengan teman dekatnya sendiri yaitu Sydney. Bagaimana di era digital benar-benar mengubah cara berkomunikasi antar manusia berpindah ruang dengan budaya-budaya cyber-nya yang baru. Berkomunikasi dengan terpisah jarak pun bukan hanya dipuaskan lewat suara yang ada di telepon, tetapi lewat audio visual seperti yang dilakukan Sydney dan Venus. 


Nerve tak berusaha terlihat ambisius dengan dasar ceritanya yang benar-benar thought-provoking. Henry Joost dan Ariel Schulman berusaha keras untuk menumpulkan pesan-pesan dominan tersebut dengan sajian yang ringan. Dalam 96 menit, Nerve sangat padat cerita bahkan memiliki banyak sekali keseruan-keseruan yang dapat dinikmati di menit-menit berikutnya. Sayangnya menuju bagian ketiga film, Nerve mungkin seperti kelelahan dan berusaha mengakhiri filmnya dengan mudah. 

Selama 70 menit berlangsung, Henry Joost dan Ariel Schulman terlihat keasyikan untuk memperlihatkan setiap tantangan yang diberikan oleh Nerve kepada karakter Venus dan Ian. Tetapi, ketika menuju sebuah konklusi, atmosfir film berubah menjadi sesuatu yang lain dari apa yang berusaha ditawarkan semenjak awal film. Pun, muncul sebuah kemudahan-kemudahan yang lainnya agar Nervebisa mengakhiri filmnya dan menjadi kelemahan di dalam filmnya. 


Tetapi, hal tersebut bukan menjadi masalah di dalam film Nerve. Minor-minor kecil itu tak menyurutkan segala keasyikan dan keseruan yang ditawarkan oleh Henry Joost dan Ariel Schulman sejak awal filmnya berlangsung. Pun, naskah dari Jessica Sharzer berhasil mengadaptasi karya Jeanne Ryan itu menjadi sebuah sajian film yang nampak Stylish. Pun, Nerve mempunyai pesan-pesan yang juga sangat dalam bagi penontonnya yang sedang hidup dalam dunia digitalnya. Lantas, film ini dapat menjadi sebuah kontemplasi dengan cara yang menyenangkan bagi penontonnya yang masih saja berkutat dengan media sosial beserta likes, views, atau followersmereka. Nerve akan menampar keras problematika tersebut dengan caranya sendiri. 
 

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following