Skip to main content

MY STUPID BOSS (2016) REVIEW : Sketsa Komedi Adaptasi


Film komedi menjadi salah satu genre film yang riskan untuk dibuat. Hal itu dikarenakan sebuah film tak bisa memberikan generalisasi selera humor penonton yang disampaikan di dalam filmnya. Sehingga, perlu taktik untuk –setidaknya –menarik minat penonton untuk menyaksikan film tersebut. Dan My Stupid Boss yang dinaungi oleh Falcon Pictures memiliki cara untuk memberikan teaser menarik dan berhasil memberikan daya tarik bagi penontonnya.
 
Di tengah film-film besar, film-film Indonesia di tahun ini berhasil memperoleh pendapatan jumlah penonton yang fantastis. Sehingga, My Stupid Boss memiliki motivasi untuk mendapatkan penonton sebanyak-banyaknya. Upi sebagai sutradara memasang nama-nama besar untuk bermain di dalam My Stupid Boss. Meski lagi-lagi, Reza Rahadian tampil lagi di sebuah film, tetapi penampilannya kali ini –lagi-lagi –membuahkan inovasi.

My Stupid Boss berhasil menciptakan gegap gempita tawa yang  luar biasa lewat trailer filmnya. Hanya saja, jelas akan menjadi ketakutan besar bagi penontonnya untuk berekspektasi tinggi untuk melihat hasil keseluruhannya. My Stupid Boss memang tak berusaha untuk membangun nuansa jenaka yang berlebihan di keseluruhan 100 menitnya. Tetapi, bagaimana My Stupid Boss ternyata membangun cerita dan karakter yang menyenangkan di dalam filmnya menjadi sebuah medium efektif untuk bersenang-senang bagi penontonnya. 


Kehidupan rantau yang di negara tetangga memang susah, hal itu dirasakan oleh Diana (Bunga Citra Lestari) ketika harus mendampingi suaminya bekerja di tanah rantau. Kehidupannya sebagai Ibu rumah tangga biasa menjadi sesuatu yang menganggu. Maka dari itu, Diana mencoba untuk mencari kesibukan lain dengan mencari pekerjaan juga di sana. Berbekal dengan kenalan dari teman suaminya, Diana mendapatkan pekerjaan di perusahaan milik teman suaminya.

Tetapi, dengan adanya pekerjaan tersebut tak lantas membuat kehidupan Diana bertambah senang. Lantaran, Diana harus berhadapan dengan atasannya yang luar biasa aneh dan menyebalkan. Bossman (Reza Rahadian), atasan Diana yang menurutnya selalu memiliki berbagai cara untuk membuatnya kesal. Permintaannya selalu tak pernah masuk akal menurut Diana. Hingga pada akhirnya, Diana kesal dan berusaha untuk melakukan perhitungan dengan Bossman. 


Perilaku mengesalkan yang dilakukan oleh Reza Rahadian sebagai Bossman inilah yang akan dinantikan penonton di setiap menit dari My Stupid Boss. Penonton akan menunggu lagi dan lagi apa yang akan diperbuat oleh Reza Rahadian untuk membuat Bunga Citra Lestari kesal. Sehingga, My Stupid Boss memang tak berusaha untuk memberikan bahan candaan yang slapstick, semuanya akan cenderung alami sehingga penonton tak dipaksa untuk tertawa sepanjang menit.

Upi sebagai sutradara tahu bagaimana menemukan daya pikat dari suatu karakter, dan berbekal poin itulah My Stupid Boss bisa dikategorikan menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk dinikmati. Setiap karakter di dalam film ini memiliki cara atau pun upaya untuk pada akhirnya dapat bersimpati dengan para penontonnya. Bukan hanya Bossman dan Diana sebagai karakter utama, tetapi ada karakter-karakter pendukung lain yang dapat memeriahkan segala gegap gempita sketsa komedi di dalam film My Stupid Boss.

Tetapi, sayangnya pula, My Stupid Boss terlalu sibuk untuk menggerakkan karakter-karakternya untuk berkembang. Sehingga, plot utama di dalam film My Stupid Boss pun tak menemukan titik akhir sebagai suatu konklusi utama. Jika di dalam sebuah film drama, memiliki tiga babak di satu kesatuan filmnya. Maka, My Stupid Boss memiliki tiga poin itu yang repetitif ditemukan di sepanjang filmnya. Alih-alih menjadi satu kesatuan film yang utuh, My Stupid Boss malah terkesan menjadi sebuah film dengan sekuens-sekuens komedi yang terlalu banyak. 


Plot utama dari My Stupid Boss memang pada dasarnya adalah menceritakan bagaimana tingkah laku Bossman dan perjuangan Diana dalam menghadapinya. Tetapi, yang terjadi malah My Stupid Boss ingin berusaha menunjukkan bagian-bagian terlucu dari novelnya dan memvisualisasikan itu. Alhasil, dengan banyaknya konflik-konflik itu, plot utama dari My Stupid Boss pun tak bisa menjadi satu. Dampaknya, beberapa pergerakan plotnya akan terkesan berjalan lambat, dan tak tahu untuk mengakhiri filmnya.

Maka, yang terjadi adalah, My Stupid Boss memiliki satu subplot turning over yang dibuat untuk mengakhiri filmnya. Tetapi, segala cara yang dilakukan untuk memberikan suatu turning over itu malah terkesan dipaksakan karena My Stupid Boss kebingungan untuk pamit dengan penontonnya. Sisi-sisi humanis berusaha ditonjolkan, dengan tujuan untuk membangun setup baru agar memberikan celah film ini mendapatkan sebuah sekuel. Apalagi, buku dari My Stupid Boss tak semuanya mendapatkan porsi di dalam filmnya.

Tak diperlukan lagi bagaimana tata produksi dari My Stupid Boss. Gradien warna dominan merah, hijau, dan kuning digunakan untuk memberikan nuansa di dalam filmnya. Sayangnya, bagaimana My Stupid Boss yang berupa sketsa komedi ini ingin membangun nuansa komikal seperti yang dilakukan oleh film Amelie. Sehingga, apa yang dilakukan di dalam film My Stupid Boss terkesan seperti menyalin beberapa template produksi dalam film itu. Bukan hanya nilai produksi, tetapi juga musik-musiknya yang juga bisa dibilang memiliki nuansa yang sama. 


Tetapi pada akhirnya, My Stupid Boss berhasil mencapai tujuannya untuk menghibur para penontonnya tanpa berusaha keras menjadikannya sebagai sebuah film komedi yang lebih mengutamakan simpati pada setiap karakternya. Sehingga, itulah yang menjadi kekuatan utama dari My Stupid Boss itu sendiri. Meski begitu, pergerakan plot dari My Stupid Boss kurang terasa dinamis dan membuatnya memaksa untuk mengakhiri filmnya. Pun, nilai produksi filmnya yang terasa familiar dengan beberapa film luar negeri yang diadaptasi mentah. Tetapi, hal tersebut tak dapat mengurangi bagaimana My Stupid Boss adalah film yang menyenangkan untuk diikuti. 

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following