Skip to main content

DEADPOOL (2016) REVIEW : Expectation Violency of Anti-Hero Character Building


Setelah ber-marketing sana sini yang dapat menimbulkan hype  yang cukup besar, Deadpool  jelas sangat diantisipasi oleh banyak kalangan. Karena sosok yang diasumsikan sebagai superhero ini memiliki keunikan tersendiri karena gayanya yang nyeleneh. Sayangnya, asumsi kebanyakan orang terhadap sosok Deadpool ini salah. Deadpool bukanlah seorang manusia super, dia hanyalah manusia biasa dengan suntikan mutan yang ingin membalaskan dendam.


Ya, Deadpool adalah sosok anti-superheroyang tak tahu siapa yang akan dia bela. Deadpool hanya mempedulikan egonya untuk balas dendam kepada orang-orang yang telah menghancurkan kehidupannya dan orang di sekitarnya. 20th Century Fox dengan berat hati –pada awalnya –memberikan lampu hijau untuk membuat Deadpool. Sehingga, film ini hanya memiliki budget yang minim yang agar dimaksimalkan.

Ryan Reynolds dipilih sebagai sosok Deadpool yang pada awalnya telah gagal untuk menjadi sosok superhero di beberapa film lainnya. Ryan Reynolds dianggap pantas karena telah memperjuangkan hak Deadpool untuk mendapatkan filmnya sendiri. Deadpool ditangani oleh Tim Miller dan menjanjikan bahwa film ini akan berbeda dibandingkan dengan film-film Marvel lainnya. Karena Deadpool adalah sosok anti-hero yang memiliki perilaku tengil. 


Ketengilan dari sosok Deadpool ini memang sudah ada sejak dirinya belum disuntiki cairan mutan oleh seseorang yang membawanya karena iming-iming untuk menyembuhkan penyakitnya. Wade (Ryan Reynolds) nama asli Deadpool ini adalah seorang berandalan yang sangat dibenci tetapi juga dicintai oleh banyak orang. Dia jatuh cinta kepada Vanessa (Morena Baccarin) ketika sedang melihatnya di sebuah bar. Tetapi kisah cintanya tak berlangsung lama ketika Wade didiagnosa mengidap kanker parah.

Dan dengan alasan ingin bertahan hidup lebih lama dengan pujaan hatinya inilah, Wade pun tergoda tawaran untuk dijadikan seorang mutan agar bisa bertahan hidup. Sayangnya, Wade masuk ke dalam perangkap yang mengharuskannya bertemu dengan sosok egois bernama Ajax (Ed Skrein), yang jelas itu bukan nama aslinya. Karena ketengilan Wade, Ajax kesal dan menumpahkan emosinya kepadanya. Dia membuat Wade buruk rupa dan Wade mencari Ajax untuk membalaskan dendamnya.


Dan dalam 100 menit Deadpool ini menceritakan bagaimana Wade Wilson berusaha keras untuk menyerang dan mencari siapa itu Ajax, meskipun dia sudah tahu nama asli darinya. Menariknya, Tim Miller membuat Deadpool memiliki alur maju mundur ke dalam filmnya, terutama di bagian 40 menit pertama. Karakter Deadpool dibuat sangat interaktif dengan penontonnya meski dengan cara yang tak langsung. Tetapi, karakter Deadpool tahu bahwa dia berada di dalam sebuah film.

Deadpool dibuat dengan karakter narsistik yang kental yang menguatkan imej tengil yang telah ditempelkan. Di dukung dengan dialog-dialog penuh narsisisme dan kata-kata tak beradab yang dilontarkan sepanjang film. Tetapi, karakter Deadpool atau Wade memang sudah tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang ada di sekitarnya. Maka, tak salah jika Tim Miller membangun karakter Wade Wilson dengan banyak sekali pembentukan sifat senonoh dan memutuskan untuk menjadikan filmnya memiliki rating 17 tahun ke atas.

Tim marketing dari Deadpool ini benar-benar memanfaatkan bagaimana karakter dari Deadpool dibentuk di dalam ceritanya. Sehingga, ketengilan bukan hanya mendarah daging ke dalam karakteristik filmnya, tetapi juga menjadi trademark  dalam proses marketingnya. Calon-calon penonton diganjar habis-habisan dengan banyak sekali bentuk pemasaran yang terlihat menarik. Dan secara tak sengaja, jelas akan membuat penonton berekspektasi sangat tinggi. 


Dalam menonton, tak bisa lepas dari sebuah ekspektasi. Entah hanya sekedar melihat trailer atau lewat trik-trik promo yang dilakukan oleh rumah produksinya. Deadpool terkena bumerang akan trik-trik promo menariknya yang ternyata tak begitu selaras dengan keseluruhan presentasinya. Sebagai sebuah film dengan kekuatan super, Deadpool memang sedikit berbeda dalam pengemasan terutama pada pelemparan candaan yang super tak beradab. Deadpool memang tak menawarkan sesuatu yang berbeda, hanya saja Tim Miller tak sengaja masih bermain aman dengan Deadpool.

Segala ketengilan dan kebiadaban Deadpool di dalam filmnya tak seperti apa yang berusaha digembar-gemborkan. Tim Miller melemparkan semua candaan secara beruntun tanpa diberi ruang bernafas bagi penontonnya untuk mencerna bagian mana yang menjadi gong-nya. Tim Miller masih belum memperhatikan benar timing untuk menjaga pace cerita dan candaan agar bisa berjalan seimbang. Sehingga, Deadpool semakin bertambah menit pun terasa sangat tertatih untuk menyelesaikan perjalanannya. 


Tensi Deadpool semakin menurun dengan bertambahnya menit. Pun, karena Deadpool terlalu banyak mengambil alih screening time di dalam filmnya. Tim Miller terlalu asyik berpetualang mengulik lebih dalam tentang karakter Deadpool sehingga tak bisa memberikan porsi yang seimbang dengan karakter-karakter pendukung di dalam filmnya. Hasilnya, Deadpool seperti sedang berusaha sendirian untuk menyalakan tensi dan segala cita rasa film selama 100 menit.

Keegoisan Tim Miller untuk menyorot lebih kepada Deadpool menjadi sebuah masalah kecil yang secara tak langsung menggerogoti perlahan presentasinya. Mungkin Deadpool juga sebagai medium pembentukan ulang citra Ryan Reynolds yang selalu gagal memerankan sosok berkekuatan super. Sehingga, bisa jadi bukan hanya keegoisan dari sang sutradara melainkan juga sang aktor yang sangat ingin diakui sebagai salah satu aktor berpotensi di industri film hollywood. 


Dengan rating dewasa, Deadpool memberikan sesuatu yang berbeda lewat presentasi karakteristik unik sosok Wade Wilson. Meski begitu, Deadpool tak seperti yang digembar-gemborkan oleh tim marketing-nya yang diperas hingga maksimal untuk mendapatkan brand awareness yang besar agar mendapatkan calon penonton untuk menutupi budget-nya yang kecil. Tidak salah memang, tetapi penonton secara tak langsung membangun ekspektasi. Tetapi, Deadpool mengkhianati ekspektasi penonton dengan presentasi yang sebenarnya berusaha keras menutupi masalah-masalahnya. 

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following