Skip to main content

EVEREST (2015) REVIEW : Not Really Hike to Top of the Mountain


Film-film dengan berbujet besar dan penuh ledakan yang diedarkan selama musim panas pun akhirnya berakhir. Di kuartal akhir tahun, slot-slot besar itu diperuntukkan bagi film-film yang sudah siap bersaing di ajang-ajang bergengsi seperti Golden Globe Awards atau pun Academy Awards. Akan banyak sutradara yang bersaing untuk mendapatkan lini terdepan sebagai jagoan untuk memenangkan beragam penghargaan di dalam ajang bergengsi tersebut.

Salah satu film yang memiliki konten tersebut adalah Everest, arahan dari Baltazar Kormakur. Film ini pun terlihat memiliki konten yang setidaknya bisa diperhitungkan di dalam ajang-ajang bergengsi. Diadaptasi dari sebuah buku berjudul Into Thin Air, Baltazar Kormakur mengarahkan sebuah film yang didasari oleh kejadian nyata tentang para pendaki yang kesulitan untuk mencapai puncak gunung tertinggi dunia. Beberapa nama besar pun ikut andil di dalam film ini seperti Jason Clarke, Josh Brolin, Keira Knightley, dan Jake Gyllenhaal.

Terlalu memiliki ambisi untuk menjadikan film arahannya agar mendapatkan sebuah pengakuan di ajang bergengsi pun malah menyerang balik dirinya. Everest adalah sebuah film drama berdasarkan kisah nyata yang memang memiliki konten yang berpotensi untuk dapat bersaing di sebuah ajang penghargaan. Hanya saja, Baltazar Kormakur memiliki pengarahan yang sangat hati-hati dan malah cenderung bermain aman. Hasilnya, Everest pun tak dapat memberikan performa yang sesuai dengan ekspektasi penontonnya. 


Rob Hall (Jason Clarke), seorang pendaki yang ingin mencapai puncak tertinggi di dunia yaitu gunung Everest. Dia pun mengajak teman-temannya seperti Beck (Josh Brolin), Doug (John Hawkes), dan masih banyak lagi untuk melakukan ekspedisi terakhir tersebut. Setibanya di sana, dia bertemu dengan Jon (Michael Kelly) dan Helen (Emily Watson) untuk melakukan rencana perjalanan agar ekspedisi yang mereka lakukan berhasil. 

Ketika semua sudah dipersiapkan, mulai dari kesehatan, jalanan di sana, dan banyak hal lainnya, mereka memulai perjalanan ekspedisi mereka. Tetapi, mereka harus tiba di sana tepat waktu agar tak terkena badai salju besar yang bisa menewaskan mereka. Sayangnya, perjalanan mereka di sana tak terlalu lancar. Mereka harus dihadapkan oleh beberapa masalah kecil yang tak membuat mereka terhambat. Mereka berhasil menuju puncak, tetapi ketika mereka melakukan perjalanan kembali ke dataran rendah, badai salju besar tersebut menerpa mereka.


Badai salju tak hanya datang menerpa para karakter yang ada di dalam film Everest, tetapi badai itu pun menyerang keseluruhan presentasi yang diarahkan oleh Kormakur. Baltazar Kormakur tak berusaha untuk menjadikan Everest memiliki performa yang sama tingginya dengan latar tempat utama mereka. Banyak sekali beberapa poin yang hilang ketika menyaksikan Everest secara utuh dengan durasi mencapai 121 menit.

Baltazar Kormakur ingin menjadikan Everest sebagai film yang memiliki kekuatan emosional. Dengan banyaknya nama terkenal di dalam lini pemainnya, Everest pun tak bisa memaksimalkan salah satu poin penting di dalam sebuah film. Everest ingin membuat filmnya menjadi sebuah film slow-burn drama dengan pengaruh yang besar bagi penontonnya. Sayangnya, Baltazar Kormakur belum mempunyai kompetensi untuk mengangkat semua cerita yang ada di dalamnya. 


Jalan terjal film Everest pun terlalu banyak. Tak seperti karakternya yang berhasil menuju puncak gunung tertinggi tersebut, Everest tak berhasil mencapai puncak emosi yang seharusnya menjadi senjata utama bagi Everest. Permainan emosi yang dihadirkan oleh Baltazar Kormakur tetap hadir, hanya saja di beberapa bagian tertentu. Sehingga, tujuan utama Everest untuk menghadirkan pengaruh yang besar bagi penontonnya pun tak bisa tercapai maksimal.  

Memiliki banyak karakter yang ikut andil ke dalam filmnya pun membuat Baltazar Kormakur kebingungan untuk memberikan spotlight kepada siapa di filmnya. Ketika seharusnya spotlight besar ditujukan kepada Jason Clarke, jatuhnya semua karakter memiliki porsi yang sama dan ini bukanlah sesuatu yang baik. Hal tersebut lah yang memengaruhi bagaimana performa Everest yang menyebar segala tensinya ke setiap karakternya dengan merata. Sehingga, tak ada adegan yang membuat siginifikansi emosi bagi penontonnya.

Dengan durasi mencapai 120 menit, beberapa bagian di film arahan Baltazar Kormakur ini pun terasa hambar. Penonton akan kebingungan dan terus mencari mana yang menjadi sebuah titik puncak dari Everest yang seharusnya memiliki dasar konten yang kuat. Di dalam presentasi secara keseluruhan, Baltazar Kormakur lupa dengan tujuan dan konten yang bisa menjadikan film Everest bisa tampil jauh lebih baik dari apa yang sudah dikemas sekarang.


Beruntung adalah bagaimana Everest mampu menampikan visual-visual menarik. Hal tersebut setidaknya membuat penonton bisa merasakan perjalanan ekspedisi menuju salah satu gunung tertinggi di dunia. Dengan berbagai cara pengambilan gambar yang menarik, setidaknya Everest memiliki sisi positif di bagian teknisnya. Pun, cara pengambilan gambar yang menarik itu berhasil mendukung format tiga dimensi sebagai salah satu alternatif cara untuk menonton film ini. 

Memiliki konten yang bisa masuk menjadi salah satu daftar film yang dapat bersaing di ajang bergengsi, nyatanya Everest tak bisa memaksimalkan hal tersebut. Everest seharusnya mampu untuk tampil lebih maksimal dari pada yang hasil akhir yang diarahkan oleh Baltazar Kormakur. Arahan darinya tak bisa menangkap emosi yang secara konstan hadir di dalam 120 menit durasinya. Pun, dengan jajaran aktor-aktris dengan nama yang besar, Everest pun tak bisa memaksimalkan hal tersebut. Beberapa bagian film ini pun terasa hambar dan tak semenarik dari seharusnya.
Film Everest pun tak lupa untuk dirilis dalam format tiga dimensi dan salah satunya dirilis dalam format IMAX 3D. Berikut rekapan format tiga dimensi IMAX.

DEPTH
 

Kemegahan luar biasa ditampilkan oleh film Everest lewat teknik pengambilan gambar. Dan dengan format tiga dimensi, kedalaman gambar pun tampak nyata

POP OUT 
Meski tak berapa banyak, efek ini di dalam format tiga dimensinya menyokong suasana dingin filmnya lewat butiran-butiran salju yang berhasil keluar dari layar.
Format tiga dimensi dari Everest sangat layak untuk disaksikan. Terlebih, ketika kalian menyaksikannya dalam format IMAX yang berhasil menangkap kemegahan Everest.

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following