Skip to main content

SAN ANDREAS (2015) REVIEW : Big Disaster, Big Holes Inside [With 3D Review]


Sudah banyak memang yang mencoba untuk mengangkat film-film bertema bencana alam. Roland Emmerich contohnya, sutradara satu ini sering sekali membuat film-film bertema serupa. Dan karyanya yang paling fenomenal adalah 2012, yang diangkat berdasarkan ramalan tentang kiamat di tahun 2012. Filmnya memang tak berhasil menuai pujian dari para kritikus, tetapi film ini berhasil menarik minat penonton sehingga menimbulkan antrian panjang di mana-mana.

Di tahun ini, film tentang bencana alam kembali hadir tetapi bukan dari sutradara yang sama. Brad Peyton, sutradara dari Journey 2 : Mysterious Island dan Cats & Dogs 2 ini mencoba hal baru dalam rekam jejak filmnya. San Andreas, judul film terbaru dari Brad Peyton yang mengangkat bencana alam gempa bumi sebagai landasan ceritanya. San Andreas pun mempunyai nama-nama besar seperti Dwayne Johnson dan Alexandra Daddario di deretan pemainnya.

Memiliki nama-nama besar seperti Dwayne Johnson, Carla Gugino, bahkan Alexandra Daddario. Juga, memiliki visual efek yang megah seperti apa yang ditunjukkan lewat trailernya, tak lantas membuat film terbaru dari Brad Peyton ini memiliki sesuatu yang segar di dalamnya. San Andreas hanyalah sebuah film bertema bencana alam yang generik dan masih menawarkan sesuatu yang sama dengan film-film bertema sama sebelumnya. 


San Andreas memang tak punya plot yang spesial, segalanya hanyalah kumpulan dari segala macam unsur klise dalam film bertema sama dan bergabung menjadi satu. Ray (Dwayne Johnson) seorang penyelamat yang hidup penuh tantangan memiliki keluarga yang sudah berantakan. Ray mendapat gugatan cerai dari sang Istri, Emma (Carla Gugino) yang akan berpindah tempat tinggal di rumah sang pacar baru, Daniel (Ioan Gruffudd).

Bersama dengan Emma, Ray memiliki anak bernama Blake (Alexandra Daddario) dan seorang lagi yang sudah meninggal. Dengan adanya kejadian tersebut di dalam keluarganya, Ray berusaha untuk tetap mencintai keluarganya. Tetapi, ketika Blake akan pergi bersama dengan Daniel, gempa bumi besar datang menyerang kota California. Ray dan Emma berusaha menemukan dan menyelamatkan Blake yang terjebak karena gempa bumi yang meluluh lantakkan seluruh kota. 


Dengan cerita yang sesederhana itu, San Andreas memiliki durasi sepanjang 112 menit untuk menjalankan segala konflik ceritanya. Tak pelak, San Andreas pun terasa terlalu panjang dengan konflik yang sebenarnya tak punya sesuatu yang istimewa. Carlton Cuse selaku penulis naskah pun seperti mencoba menyelipkan berbagai macam intrik untuk mengulur durasi dari San Andreas. Sehingga, Brad Peyton bisa memamerkan kemegahan visual efek bencana alam sebagai sajian utama film San Andreas.

Memang, rasanya terlalu naif ketika mengharapkan sesuatu yang segar dalam plot cerita untuk film sejenis San Andreas. Film garapan Brad Peyton ini pun seperti sebuah omnibus yang tak dapat bersatu di setiap pengembangan karakternya. Sehingga, akan terasa adanya beberapa segmen yang berdiri sendiri dengan performa yang berbeda-beda. Tetap, San Andreas memiliki sajian yang klise dan luar biasa tak masuk akal untuk menyampaikan ceritanya.

Penonton pun akan dengan mudah terakses dengan cerita di dalam film ini. Saking mudahnya akses tersebut, penonton pun akan tahu seperti apa film ini akan berakhir dan berhasil menebak adegan seperti apa selanjutnya. Hal ini karena Carlton Cuse mengambil template yang sama dari beberapa film dengan tema serupa dan digabungkan ke dalam naskah film San Andreas. Sehingga, segala bentuk konflik atau adegan klise di film ini pun terangkum di dalamnya. 


Layaknya film-film Roland Emmerich, sepertinya San Andreas garapan Brad Peyton ini pun terpengaruh dengan bagaimana Roland Emmerich memberikan intrik yang luar biasa tidak masuk akal bagi penontonnya. Kesampingkan bagaimana proses gempa bumi di dalam film ini yang mungkin masih menjelaskan hal tersebut dengan berbagai penuturan ilmiah yang terasa meyakinkan. Tetapi, bagaimana para karakter melewati bencana alam yang sangat ilmiah tersebut terasa konyol untuk disaksikan.

Ada beberapa adegan yang akan terasa memudahkan bagaimana seseorang menghadapi sebuah bencana yang sangat besar. Sehingga, bencana alam tersebut akan terasa tidak nyata bagi penontonnya. Dengan adanya adegan-adegan seperti itu, hal ini menegaskan bahwa San Andreas hanyalah sebuah medium untuk memamerkan visual efek yang besar dan mengedepankan sekuens-sekuens aksi yang maunya ingin memberikan tensi untuk ceritanya. Sayangnya, tensi itu terasa mengapung tetapi ada beberapa poin yang masih membuat San Andreas menyenangkan untuk diikuti. 


San Andreas masih memiliki kekuatan dalam jajaran pemainnya. Terlebih adegan final di film ini yang menguatkan sisi humanis dalam porsi drama keluarganya. Dibandingkan dengan beberapa poin yang menjadi kekurangan film ini, jajaran pemain dan paruh akhir film ini masih memberikan satu tensi yang kuat sehingga film ini tidak lemah seutuhnya. Drama keluarga yang kuat dengan beberapa jokes –di luar adegan yang tidak masuk akal –di dalam filmnya masih bisa membuat penontonnya terhibur.

Maka, film garapan Brad Peyton ini memang hanyalah sebuah medium untuknya dalam memamerkan segala visual efek yang megah untuk adegan-adegan bencana alamnya. Tetapi, San Andreas memiliki keterbatasan dalam menyampaikan setiap intrik ceritanya sehingga tensi tersebut akan terasa tertarik ulur karena durasi yang terlalu panjang untuk plot yang setipis kertas. Tetapi, di paruh akhir, San Andreas tahu apa yang membuat film ini masih layak untuk disaksikan oleh penontonnya. 


Dengan visual efek yang megah, tentu Brad Peyton menginginkan filmnya disaksikan dalam format tiga dimensi. Berikut review keseluruhan tentang format tiga dimensi dalam film San Andreas

POP OUT
Tak terlalu banyak adegan Pop-Out untuk film San Andreas dalam format tiga dimensi. Hanya beberapa percikan air dan debu yang bisa menyapa penontonnya. Sayang, film ini seharusnya direkam lewat native 3D bukan converter.

DEPTH
Masih ada beberapa adegan di dalam film San Andreas yang menonjolkan kedalaman sehingga apa yang kita lihat tampak nyata. Tapi, hal itu pun tidak terlalu kuat. 


Dengan beberapa poin dalam format tiga dimensi yang terlalu lemah, San Andreas mungkin akan lebih menyenangkan disaksikan hanya dalam format dua dimensi. Tak seperti film Brad Peyton terdahulu, Journey 2 : Mysterious Island, yang tahu dalam memanfaatkan format tiga dimensi, San Andreas merupakan penurunan dalam format tiga dimensinya.

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following