Skip to main content

DI BALIK 98 (2015) REVIEW : Keterbatasan Dunia Fiktif dalam Setting Nyata


Para pelakon di bidang akting merambah keahlian mereka di dunia balik layar perfilman memang sedang menjadi tren. Mereka mencoba untuk mengarahkan film mereka sendiri, meskipun beberapa masih ada yang mencoba keahlian mereka lewat film pendek. Reza Rahadian, Acha Septriasa, Ladya Cheryl, dan Lukman Sardi awalnya juga memulai debut mereka lewat film pendek. Lukman Sardi memberanikan diri untuk mengasah lagi kemampuannya dalam mengarahkan sebuah film panjang yang di rilis di bioskop.
 
Lewat production house, MNC Pictures, yang diproduseri oleh Affandi Abdul Rachman, Lukman Sardi mengarahkan film dengan tema tragedi 98. Isu yang memiliki interpretasi luas dan menjadi salah satu tragedi yang menjadi sejarah transisi negara Indonesia. Lukman Sardi menggambarkan kejadian bersejarah itu lewat filmnya berjudul Di Balik 98. Film ini memiliki nama-nama terkenal seperti Chelsea Islan, Boy William, dan masih banyak nama-nama lainnya. 


Di Balik 98 adalah universe fiktif milik Lukman Sardi yang menggunakan latar belakang kejadian 98. Di mana memiliki banyak karakter untuk menjalankan beberapa cerita tematis untuk setiap karakternya. Di mana Diana (Chelsea Islan), seorang aktivis di Universitas Trisakti yang sangat melawan keotoritasan Soeharto pada saat itu. Diana adalah adik dari seorang Tentara bernama Bagus (Donny Alamsyah) dan pegawai dapur Istana bernama Salma (Ririn Ekawati). 

Di dalam rumah, pendapat mereka pun saling berlawanan. Diana pun mempunyai teman laki-laki bernama Daniel (Boy William). Daniel adalah lelaki keturunan tiongkok yang hidup bersama ayah dan adiknya. Etnis tiongkok yang sangat terancam di tragedi 98 ini tentu memengaruhi kehidupan Daniel dan keluarganya. Juga ada Ayah dan Anak gelandangan yang hidup kesusahan saat tragedi itu berlangsung. 


Menggabungkan tema cinta, keluarga, dan politik dengan setting tahun 1998 bukanlah perkara mudah. Tema tragedi 98 ini pun adalah sebuah tema yang sangat besar, perlu ketrampilan yang sangat baik untuk menyampaikan pesannya dengan baik kepada penontonnya. Tentu, Lukman Sardi mengemban tugas berat apalagi ini adalah debut pertamanya di layar lebar. Pintarnya, Lukman Sardi menggunakan sebuah cerita fiktif agar tak salah langkah di dalam pengarahannya.

Lukman Sardi ingin menyampaikan sebuah film dengan berbagai sudut pandang ras atau etnis dan kelas sosial saat tragedi 98 ini berlangsung. Sebuah pemikiran yang hebat dan besar meski jika salah sedikit, ini akan menjadi bumerang hebat bagi filmnya. Di Balik 98 adalah film dengan pemikiran hebat dan besar yang dijadikan dasar dalam menjalankan ceritanya. Tetapi, treatment yang masih belum sempurna ini membuat pemikiran hebat ini terhambat.

Untuk deliver sebuah cerita, apalagi dengan karakter yang sangat banyak butuh detil arahan yang baik. Sebagai debutan, Lukman Sardi masih perlu mengasah lagi kemampuannya dalam menyampaikan cerita dengan baik. Di Balik 98 memang memiliki cerita yang sederhana, tapi dengan catatan untuk setiap karakternya. Terbuai oleh kesederhanaan cerita, film ini tak sadar bahwa akan memiliki kompleksitas apalagi ada beberapa karakter yang saling berhubungan. 


Di sinilah salah satu sisi negatif dari Di Balik 98, bagaimana semua cerita sederhana di film ini pun tidak bisa membuat penontonnya untuk bertahan. Cara bertuturnya pun tersendat-sendat di dalam durasinya yang hanya 95 menit. Akhirnya, Di Balik 98 pun memiliki tempo cerita yang melambat saat durasinya semakin bertambah. Di sini terlihat bagaimana Lukman Sardi sangat berhati-hati saat mengarahkan filmnya. 

Tetapi, kehati-hatian sang sutradara harus mengorbankan suasana hati penonton yang tak pernah diajak naik. Penonton yang tak pernah menjamani era 98 tersebut pun tak pernah tahu bagaimana tegang, riuh, dan takutnya zaman itu. Meskipun hal-hal tersebut ditampilkan dengan nyata lewat adegan-adegannya, tetapi adegan tersebut pun kosong, tak memiliki nyawa atau suasana sebesar penggambaran adegan mereka. 


Film ini mempunyai banyak sekali karakter saat menggerakkan cerita. Tetapi, ruang untuk bergerak itu sangat sempit. Banyak sekali karakter yang akhirnya tidak memiliki tujuan yang jelas atau hanya tampil sebagai formalitas. Semua karakter pun tidak dapat bergerak bebas, banyak sekali cerita yang terasa belum selesai atau malah belum tersampaikan. Maka, tujuan Lukman Sardi untuk akhirnya menggabungkan beberapa tema cinta, politik, dan keluarga pun akhirnya gagal di dalam film perdananya ini.

Beruntung, Lukman Sardi masih sadar dalam memberikan detil-detil kecil dalam production value-nya di film ini. Beberapa cameo dari tokoh-tokoh besar, tempat-tempat yang digarap sama dengan zamannya, sehingga Di Balik 98 masih dapat digolongkan sebagai sebuah film yang masih digarap serius oleh sineasnya. Meskipun minim tragedi bersejarah karena Lukman Sardi memang memfokuskan ke dunia fiktif buatan dirinya sendiri. 


Sebagai debutan, Lukman Sardi sudah memiliki bakat untuk mengarahkan sebuah film. Karena beberapa hal teknis membuat Di Balik 98 masih dikategorikan sebuah film yang digarap secara serius. Namun, Lukman Sardi perlu untuk mengasah kemampuannya lagi dalam bidang penyutradaraannya. Lukman masih terlihat kesusahan untuk menyampaikan pesannya kepada penonton lewat karakter-karakter fiktifnya dengan setting tahun 98 yang notabene masih susah untuk diolah. 

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following