Skip to main content

THE HOBBIT : THE BATTLE OF FIVE ARMIES (2014) REVIEW : Last Chapter of Bilbo’s Journey [With HFR 3D Review]


The Hobbit sama-sama diangkat dari novel milik J.R.R Tolkien. Bedanya, The Hobbit hanya memiliki satu buku yang dibagi menjadi tiga bagian, tak seperti Trilogi The Lord of The Ringsyang memiliki seri yang berbeda-beda. Tentu, bukan keputusan yang bijak dari Peter Jackson untuk membagi satu buku menjadi 3 bagian yang masing-masing memiliki durasi sektar 150 sampai 165 menit. Hanya dengan satu buku, The Hobbit akan terkesan minim sekali konflik.

Tiga tahun adalah waktu yang dibutuhkan oleh Peter Jackson untuk menjalankan cerita yang minimalis dari Bilbo Baggins. Perlu satu tahun untuk menunggu episode terakhir dari perjalanan Bilbo Baggins dan para dwarfs untuk menyelesaikan misinya. Trilogi The Hobbit menjadi cerita prekuel dari trilogi The Lord of The Rings yang juga diarahkan oleh Peter Jackson. Tetapi, sambutan positif tak lantas mengiringi setiap seri dari The Hobbit sendiri. 


Dua tahun lalu, An Unexpected Journey diedarkan dengan cliffhanger ending yang cukup smooth. Bilbo Baggins pun melanjutkan misinya dalam seri The Desolation of Smaug yang mulai memberikan easter egg sedikit demi sedikit kepada The Lord of The Rings. The Battle of Five Armies, seri ketiga ini melanjutkan dari seri The Desolation of Smaug. Di mana,  Bilbo Baggins (Martin Freeman) yang sudah berada di daerah kelahiran para dwarfs. Smaug yang marah menyerang kawasan sekitar dan membuat segalanya luluh lantak.

Tetapi, masalah utama ternyata bukan pada naga Smaug yang telah mencuri dan menguasai istana mereka terdahulu. Akan ada masalah yang lebih besar yang harus dihadapi oleh para dwarfs setelah berhasil menguasai kembali istananya. Masalah besar tersebut melibatkan lima sekutu yang berbeda dan terjadi perang yang sangat besar di antara mereka. Middle-Earth tentu sedang dalam guncangan yang hebat dikarenakan perang dari lima sekutu yang berbeda di atas tanah mereka. 


The Battle of Five Armies mengalami perubahan nama judul yang sebelumnya adalah There and Back Again. Ya, perubahan nama itu memang dirasa perlu agar penonton merasakan bahwa penutup dari trilogi ini akan menjanjikan sesuatu yang sangat besar. Kata ‘Battle’yang berarti perang tentu akan dengan mudah menarik perhatian penonton agar menyaksikan babak terakhir petualangan Bilbo Baggins dan para dwarfs yang sudah mencapai titik puncaknya.

The Battle of Five Armies pun memiliki durasi yang paling pendek di antara dua seri lainnya. Dalam durasi yang mencapai 150 menit, The Battle of Five Armies pun hanya menitikberatkan filmnya pada adegan aksi yang digarap grande. Final Battle di film ini pun digarap serius yang akan memanjakan para penonton yang sudah mengidam-idamkan adegan perang sejak An Unexpected Journey dirilis. Tetapi, penonton tampaknya harus bersabar hingga The Battle of Five Armies ini datang dan memuaskan mereka yang haus akan itu.

Peperangan antara lima sekutu perang ini pun berlangsung hampir 45 menit filmnya. Tetapi, 105 menit sisanya masih harus mengurusi penyelesaian dari konflik yang disebarkan di kedua film terdahulunya. Tetapi, Peter Jackson pun masih kebingungan mau konflik seperti apa lagi yang mau dia sampaikan di film ini agar dapat memenuhi durasi. Dengan hanya bermodalkan satu buku sebagai kiblat ketiga filmnya yang berdurasi panjang, tentu The Battle of Five Armies ini sebenarnya akan lebih efektif jika dimampatkan ke dalam kedua seri sebelumnya. 


Tetapi, The Battle of Five Armies bukanlah sebuah penutup yang buruk. Bahkan, performa The Battle of Five Armies bisa dikatakan bisa lebih smooth ketimbang The Desolation of Smaug. Segala bentuk adventure di dunia Middle-Earthini bisa menjadi sajian yang sangat menghibur dan bisa dinikmati hingga akhir. Meskipun masih ada momen up and downskarena durasi yang cukup lama dalam bertutur, namun The Battle of Five Armies menyimpan segala bentuk adegan mengejutkan di dalam Final Battle sequence-nya.

The Battle of Five Armies menjadi sebuah penutup trilogi The Hobbit yang manis. Tanpa sengaja, seri penutup ini akan mempersuasi penontonnya untuk membuka lagi kenangan trilogi The Lord of The Rings dan menyaksikan seri itu kembali. Karena pesona Middle-Earthdalam buku J.R.R Tolkien ini memang luar biasa dan selalu menempel di otak penontonnya meski sudah 10 tahun lalu film-film itu dibuat. 


Tapi perlu adanya garis bawah untuk trilogi The Hobbit ini. The Hobbit adalah sebutan untuk para penghuni middle earth dengan kakinya yang besar dan tinggi badannya yang pendek. Dengan menggunakan kata The Hobbit di setiap judulnya, tentu perlu ada sesuatu performa yang lebih besar yang ditujukan kepada sosok Bilbo Baggins yang mewakili ras Hobbit itu sendiri. Tetapi, hal itu dihiraukan oleh Peter Jackson dan akhirnya The Hobbit hanyalah adaptasi sebuah judul dari buku J.R.R. Tolkien tetapi tak memberikan ruang untuk sosok Hobbit bernama Bilbo Baggins untuk berkembang.

Di dalam An Unexpected Journey, karakter Bilbo masih diberikan kendali yang lebih kuat untuk menjalankan ceritanya. Hal itu dapat digunakan sebagai pegangan bahwa The Hobbit ini perlu untuk diangkat versi layar lebar. Tetapi, kesalahan itu sudah terjadi semenjak The Desolation of Smaug. Di mana, Bilbo Baggins pun harus kalah pamor, kalah saing, dan kalah screening time dengan karakter-karakter baru lainnya seperti Legolas, Bard, bahkan para Dwarfs. Bilbo tidak diberi ruang untuk menjadi sosok yang penting untuk filmnya. 


Begitu pun di dalam seri penutupnya, karakter Bilbo Baggins pun semakin lama semakin turun pamor. Kegunaannya di dalam seri ini pun tertutupi karakter lain yang semakin mendapatkan spotlight lebih. Peter Jackson pun tak mencoba untuk memberikan kesan yang baik kepada sosok Bilbo Baggins yang seharusnya menjadi karakter utama jika dilihat dari judulnya. Tetapi, malah semakin tenggelam dari satu seri ke seri lainnya dan penonton akan mengenang karakter seperti Kili dan Fili ketimbang Bilbo Baggins yang seharusnya menjadi penggerak narasinya sejak awal. 


The Hobbit : The Battle of Five Armies ini pun benar-benar hanya menyelesaikan semua konflik yang sudah disebar di dua seri pendahulunya. Dengan final battle sequence-nya yang dieksekusi secara grande, tentu hal ini akan memuaskan penonton yang sudah mengidam-idamkan hal ini di dua seri sebelumnya. Dengan berbagai minor kecil di segala aspeknya, The Hobbit : The Battle of Five Armies ini adalah sebuah penutup yang manis yang dapat membuka memori penontonnya untuk menyaksikan kembali trilogi The Lord of The Rings


Seperti seri sebelumnya, The Hobbit : The Battle of Five Armies pun dirilis dalam format 3D. Tetapi, memiliki banyak jenis format 3D yaitu IMAX 3D, HFR 3D, dan IMAX HFR 3D. Berikut adalah review The Hobbit : The Battle of Five Armies dalam format HFR 3D.

DEPTH
The Hobbit : The Battle of Five Armies memiliki kedalaman yang sangat luar biasa jika disaksikan dalam format HFR 3D. Segalanya akan terasa dekat dan riil.

POP OUT
Banyak sekali adegan Pop Out dalam The Hobbit : The Battle of Five Armies yang menyapa mata penontonnya. Terlebih dalam adegan final battle yang sangat memaksimalkan efek pop out dalam format tiga dimensinya.
 
Dengan terobosan terbaru dalam format tiga dimensinya, The Hobbit : The Battle of Five Armies sangat direkomendasikan untuk disaksikan dalam format HFR 3D. Akan menambah suasana battle yang terasa lebih nyata jika dibandingkan bila disaksikan dalam format dua dimensi.

Comments

Popular posts from this blog

The Glass Castle

Destin Cretton is anything but a household name. Yet, the gifted filmmaker turned heads with his massively overlooked 2013 drama, Short Term 12 . The effort bridged together Cretton's singular story and vision with the remarkable acting talents of Brie Larson. Since then Larson has gone on to win an Academy Award ( Room ), but her career comes full circle in her latest collaboration with Destin Cretton in the adapted film The Glass Castle . Told non-chronologically through various flashbacks, The Glass Castle follows the unconventional childhood of gossip columnist and eventual Best-Selling author Jeannette Walls (Larson). Prior to her career as a writer, Walls grows up under the dysfunctional supervision of her alcoholic father (Woody Harrelson) and her amateur artist mother (Naomi Watts). But as Jeannette and her siblings begin to mature and fully comprehend their squatter-lifestyle and impoverished upbringing, they must work together to escape the clutches of their deadbeat par

FILOSOFI KOPI 2 : BEN & JODY (2017) REVIEW : Revisi Nilai Hidup Untuk Sebuah Kedai Kopi

  Kisah pendek yang diambil dari Dewi Lestari ini telah dibudidayakan menjadi sebuah produk yang namanya sudah mahsyur. Selain film, produk dari Filosofi Kopi ini diabadikan menjadi sebuah kedai kopi yang nyata. Dengan adanya konsistensi itu, tak akan kaget apabila film yang diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko ini akan mendapatkan sekuel sebagai perlakuan selanjutnya. Tentu, kekhawatiran akan muncul karena cerita pendek dari Filosofi Kopi pun hanya berhenti di satu sub bab yang telah dibahas di film pertamanya. Sayembara muncul ditujukan kepada semua orang untuk membuat kisah lanjutan dari Ben dan Jody ini. Sayembara ini sekaligus memberikan bukti kepada semua orang bahwa Filosofi Kopi tetap menjadi film yang terkonsentrasi dari penonton seperti film pertamanya. Yang jelas, Angga Dwimas Sasongko tetap mengarahkan Chicco Jericho dan juga Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Angga Dwimas Sasongko pun berkontribusi dalam pembuatan naskah dari cerita terpilih yang ditulis oleh Jenny Jusuf s

DVD Outlook: August 2017

It appears August is rather barren with new DVD and streaming options ( July's suggestions ). Thankfully, a hot slate of diverse theatrical offerings such as The Big Sick , Dunkirk , War for the Planet of the Apes , Spider-Man: Homecoming and so much more, you can find a worthwhile movie to enjoy no matter what your personal preference may be. Either way, here's a look at what's available on DVD and streaming services this month. Alien: Covenant - 3 stars out of 4 - ( Read my full review here ) Earlier this year Ridley Scott returned to his storied  Alien universe once again with the follow-up to 2012's Prometheus . In the latest installment, Scott and company shift their efforts from cryptic to visceral and disturbing with a bloody and twisted affair that feels immensely more horror-based than its predecessor. While on a colonizing mission to jump-start the humanity on a distant planet, crew members of the Covenant are awoken from their hibernation state following